fitrah manusia


fitrah
Ramadan, bulan puasa telah berlalu. Sebulan penuh itu seorang Muslim
berupaya semaksimal mungkin untuk menjadi hamba yang abid, meninggalkan 
kenikmatan duniawinya di siang hari dalam rangka mendekatkan atau 
taqarrub  kepada Allah SWT. Di bulan puasa inilah seorang hamba akan 
berupaya semaksimal mungkin untuk mengenal alam spiritual yang agung. 
Makan, minum dan hubungan suami isteri yang merupakan simbol jasadiyah 
kehidupan ditinggalkan dalam masa tertentu, untuk menyingkap pandangan 
material manusia untuk mengembalikan pandangan spiritualnya.

Kemampuan manusia menembus alam materialnya dalam melihat dunianya,
merupakan kemenangan yang luar biasa. Sebab hanya dengan kapabilitas 
tersebut, manusia mampu membedakan wujudnya dari wujud-wujud makhluk 
lainnya. "ya'lamuuna zaahiran minal hayatid dunya wa hum 'anil Akhirati 
hum ghaafiluun" (Mereka tahu dari kehidupan dunia ini hanya yang 
lahir-lahir semata. Sedangkan mereka lalai terhadap kehidupan Akhirt". 
Ayat lain menjelaskan, "Sungguh Kami telah persiapkan neraka jahannam 
untuk kebanyakan dari kalangan Jin dan manusia. Sebabnya, mereka punya
mata namun tidak melihat, punya telinga namun tidak mendengar, punya 
hati tapi tidak faham. Mereka itu seperti binatan, malah lebih sesat 
dari binatan". Pada bagian lain, dijelaskan, "Mereka itu makan dan 
bersenang-senang sebagaimana hewan-hewan makan dan bersenang-senang".

Ungkapan Al Qur'an yang sangat keras terhadap sebagian manusia di 
atas, bukanlah suatu yang samar lagi dalam kehidupan manusia saat ini.
Karakteristik hewani manusia telah dominan, sehingga nilai-nilai kesucian
spiritualnya telah terabaikan bahkan terkadang dianggap momok bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Ini tentunya, adalah konsekwensi langsung dari kebutaan
manusia dalam pandangan spiritual. Sehingga mata kasar melihat dengan jelas
segala yang kasat pandang, namun di balik pandangan kasat itu semuanya
mereka buta. Ketidak mampuan memandang secara spiritual inilah yang 
melahirkan berbagai sifat maupun sikap bodoh yang lebih dikenal dengan 
istilah "jahiliyah".

Merayakan Idul Fitri.

Keberhasilan manusia dengan puasanya untuk menyingkap tabir pandangan kasat
menuju kepada pandangan spiritual, sebagaimana dikatakan, adalah merupakan
kemenangan yang besar (fawz adziim). Kemenangan inilah yang lazimnya
dirayakan oleh kaum Muslimin di penghujung Ramadan. Mereka bergembira,
bersuka ria terlepas dari kungkungan material yang selama ini menjadi
penghalang antara dirinya dan dunia kemanusiaannya atau alam insaniyahnya.
Kembalinya manusia ke alam insaniyah yang sesungguhnya inilah yang disebut
"idul Fitri" atau kembali ke fitrah (kesucian, kealamiahan).

Fitrah inilah sesungguhnya yang kita sebut tadi dengan penglihatan
spiritual. Yaitu suatu kemampuan untuk memandang dengan hati nurani. 
Pandangan nurani inilah sesungguhnya pandangan manusiawi. Pandangan 
yang mampu menjangkau di balik pandangan kasat. Sebagai ilustrasi, 
jika anda berjalan bersama 5 kawan yang datang dari latar belakang; 
warna kulit, bahasa, tradisi, bangsa Eropa, Asia, Afrika, China, Arab, 
dll, tiba-tiba di tengah jalan anda dan kawan-kawan ini menyaksikan 
suatu tabrakan dahsyat, dimana seorang bayi ditabrak mobil misalnya. 
Maka saya yakin, semua yang menyaksikan itu, baik yang hitam, putih, 
bermata sipit, Eropa, China, Asian, dll, semuanya akan merasakan suatu 
perasaan yang sama. Yaitu suatu perasaan iba, kasihan atau apapun 
istilahnya. Yang jelas terjadi suatu perasaan yang sama pada setiap
individu yang berlatar belakang sosial mapun lahiriyah yang jauh berbeda.

Perasaan inilah sesungguhnya merupakan indikasi fitrah yang paling kuat
dalam diri seseorang. Semua manusia memiliki perasaan seperti ini. Karena 
fitrah ini tak akan mungkin terobah apalagi hilang dari seorang manusia.
"Fitratallahi allati fatarannasa 'alaeha laa tabdiila likhalqillah" (Fitrah
Allah, dimana manusia diciptakan sesuai dengan fitrah itu. Tiada perubahan
dalam ciptaan fitrah itu).

Maka istilah Idul fitri sesungguhnya, bukanlah istilah yang harus
ditafsirkan secara harfiyah (tekstual), melainkan difahami sebagai upaya 
untuk menyingkap berbagai sitar antara dunia manusia dengan alam nuraniya
(fitrahnya) sendiri. Di sinilah manusia (baca ummat Islam) diwajibkan 
meninggalkan simbol-simbol kesenangan dunianya (kecenderungan perut dan 
apa yang di bawah perut) di siang hari untuk mengikis kecenderungan yang 
melupakan (lahwun) fitrah.

Pokok-pokok sentuhan Fitrah

Sebenarnya kehidupan manusia seluruhnya harus tertata di atas nilai-nilai
fitrah ini. Sebab memang manusia diciptakan di atas nilai-nilai fitrah tadi
(Fitratallahi allati fatarannasa 'alaeha).
........
mohon perbaiki jika ada yang kurang berkenan berdasarkan pengetahuan anda